Sabtu, April 26, 2025
Merancang Keabadian: Filsafat Ruang, Waktu, dan Penciptaan dalam Arsitektur Lanskap

 





 

"Arsitek lansekap  yang hebat tidak hanya membentuk ruang tapi dia juga menyentuh jiwa, dan menembus batas waktu."

 




Apa jadinya jika ruang tak sekadar ruang? Bila waktu bukan hanya detik yang lewat? Dan penciptaan bukan hanya tentang bentuk, melainkan tentang makna yang ditanam untuk generasi mendatang?

Dalam dunia arsitektur lanskap, kita kerap kali dibikin sibuk dengan zonasi, sirkulasi, atau estetika tapak, padahal di balik semua itu tersembunyi benang merah filsafat yang jauh lebih dalam yaitu; dialektika antara ruang, waktu, dan penciptaan, yang sejatinya adalah gerbang menuju keabadian dalam desain.

Ruang bukan hanya area tiga dimensi—ia adalah tempat manusia bermakna dan waktu bukan hanya kronologi, tetapi kualitas pengalaman (kairos) yang terjadi dalam lanskap. coba saja kalian perhatikan untuk  soal penciptaan dari dalam perspektif lokal Nusantara semua karya artefak warisan leluhur selalu mengandung unsur spiritualitas, siklus alam, dan keterhubungan dengan leluhur , semua tersimpan dalam berbagai warisan penciptaan ruang karya-karya para leluhur,

Seperti ruang alun alun di depan kraton kesultanan jogjakarta, ruang natah di model pemukiman adat rumah dibali, ruang baileo masyarakat adat di maluku dan banyak lagi , coba luangkan waktu sejenak dan kembali kemasa silam untuk membaca tanah, air, lingkungan ditanah yang sakral di Nusantara

Ketika ketiga entitas ini—ruang, waktu, dan penciptaan—ber-interaksi maka terjadi dentuman energi mengakibatkan muncullah gagasan keabadian. Keabadian bukan berarti abadi secara fisik, tapi abadi dalam kenangan, dalam jiwa kolektif masyarakat, dalam simbol dan ritus.

Baca saja disekeliling kita terdapat beragam taman-taman leluhur, makam raja, hingga lanskap pura atau masjid tua, semuanya merancang kehadiran yang tetap ada meski ruang dan waktu berubah.

1.Ruang sebagai Jejak Eksistensi

     Ruang bukan hanya wadah tiga dimensi—ia adalah tempat manusia meletakkan arti, memori, dan identitas. Ruang adalah panggung dari drama kehidupan; dan arsitek lanskap adalah penata latarnya. 

2.Waktu sebagai Irama
Dalam lanskap, waktu tidak hanya bersifat linier. Ia bisa bersifat siklus (seperti musim dan ritus adat), atau bahkan melambat dan memperdalam pengalaman (kairos). Sebuah taman bisa menjadi tempat kontemplasi, bukan hanya berjalan dari titik A ke B.

3.Penciptaan sebagai Ritus
Dalam banyak budaya lokal Nusantara, penciptaan lanskap tidak lepas dari nilai spiritual. Taman, pura, dan makam leluhur tidak dibangun semata untuk fungsi, melainkan sebagai bentuk penghormatan, penyambungan rohani, dan keterhubungan kosmologis.

4.Keabadian: Bukan Fisik, Tapi Makna
Ketika ruang, waktu, dan penciptaan disulam menjadi satu, lahirlah lanskap yang memiliki rasa “abadi”. Bukan dalam arti kekal secara material, melainkan abadi dalam ingatan kolektif, dalam simbolisme budaya, dan dalam pengalaman transendental pengunjungnya.

Di sinilah letak urgensi bagi arsitek lanskap: bukan hanya menjadi perancang ruang, tetapi penulis narasi yang hidup, pembangun makna yang dirasakan lintas generasi.

Implikasinya secara sosial dan budaya sangatlan berdampak besar, Desain yang meresap ke dalam nilai lokal, menghargai irama waktu setempat (musim, ritus, transisi hidup), dan memahami konteks penciptaan spiritual, akan lebih diterima masyarakat dan memiliki jejak budaya lebih panjang.

Apa yang Harus Dimiliki seorang perencana dan perancang arsitektur Lanskap?

Tiga keahlian utama yang harus dimiliki oleh setiap individu arsitek lanskap:

    •  Kecakapan Filsafati dan Narasi – mampu berpikir konseptual dan menyusun cerita ruang serta memahami ide-ide ontologi dan eksistensi ruang.
    • Sensitivitas Sosial Budaya – memahami simbol, ritus, dan kearifan lokal secara mendalam. Hidup dan bernafas didunia kearifan lokal dan simbol dalam ruang hidup masyarakat.
    • Kemampuan Translasi Visual – menerjemahkan narasi ke dalam wujud spasial yang puitis dan kontekstual. Kreatif dalam menciptakan narasi ruang yang hidup secara visual dan emosional.

Desain yang selaras dengan ritme lokal akan lebih diterima dan dihargai. Ia menjadi bagian dari peradaban, bukan sekadar produk arsitektur. Dalam konteks ini, arsitek lanskap bukan hanya desainer teknis, tapi penulis sejarah melalui ruang.

Jadi, mari kita geser cara pandang dari “merancang ruang” menjadi merancang makna, dari “membangun taman” menjadi membangun ingatan. Karena pada akhirnya, desain lanskap yang sejati adalah tentang meninggalkan pesan untuk masa depan—yang tak akan lekang oleh waktu.

Label: , , ,

 
posted by smartlandscape at 02.16 | Permalink |


0 Comments:


Posting Komentar

~ back home