Selasa, Mei 13, 2025
Merancang Ulang Rasa Aman: Toolkit Spatial Planning Pasca Pandemi COVID

 


"Pandemi mengubah peta, bukan hanya wilayah, tapi juga cara manusia ingin merasa aman, nyaman, dan bermakna di ruang."

Tepatnya tanggal 2 Maret 2020 menjadi garis patah dalam sejarah perencanaan ruang. Ketika pandemi COVID-19 melanda dan masuk kedalam wilayah indonesia mengakibatkan dunia pariwisata tersentak. Kemunculan varian Delta hingga terbaru Omicron turut mempengaruhi keberadaan Hotel dan resort di Indonesia, terutama di Bali yang selama ini sebagai pusat Pariwisata, Hotel resort yang  menjadi simbol pelarian dari rutinitas seketika berubah menjadi ruang yang penuh kekhawatiran, atau bahkan ditinggalkan, sebuah tragedi nasional bagi dunia ke pariwisataan tanah air. Namun, sebagaimana krisis membuka ruang refleksi, pandemi justru menawarkan lensa baru: bagaimana kita seharusnya merancang ruang untuk manusia, bukan sekadar tamu.

Sebagai Konsultan perencana masterplan resort, saya menyaksikan langsung bagaimana pandemi menjadi katalis perubahan desain yang bukan sekadar kosmetik. Ia menyentuh hal yang lebih dalam: psikologi ruang, persepsi aman, dan perilaku manusia.

Alhasil daya pikir dan kreatif seorang perencana masterplan hotel resort dalam bidang kepraktisian profesi Arsitek Lanskap, sekuat tenaga  berusaha melakukan tinjauan problem seeking untuk menemukan inti permasalah perubahan perilaku tamu dan investor akibat pandemi dan melakukan problem solving untuk menemukan Solusi inovatif. 

Dan dari sinilah lahir Toolkit Post-Pandemic Spatial Planning, sebuah pendekatan baru yang tidak hanya relevan, tapi mendesak.

Awal Dari Sebuah Toolkit

Toolkit ini tidak lahir dari ruang seminar atau jurnal akademik semata. Ia lahir dari lapangan, melakukan riset ke hotel-hotel di bali yang tiba-tiba sepi bagaikan bangunan tak berpenghuni, tak ada lagi hotel mahal, semua banting harga karna sepi tamu,. Di mulai dari pengamatan terhadap tamu yang kini lebih memilih kamar dengan akses privat, dari percakapan dengan investor yang khawatir terhadap kemungkinan lockdown ulang di masa depan, hingga obrolan kasual dengan staf hotel yang mulai paham bahwa kenyamanan kini bukan hanya fasilitas, tapi rasa tenang. Dilain sisi secara internal melakukan proses brainstorming ide dan konsep antar tim kerja perencanaan yang selama ini menjadi garda terdepan dalam proyek-proyek masterplan hotel resort.

Toolkit ini berisi prinsip, strategi, dan pendekatan spasial baru yang menjawab tiga kebutuhan mendasar pasca pandemi:

  1. Keamanan emosional dan fisik
  2. Fleksibilitas ruang menghadapi disrupsi
  3. Pengalaman bermakna yang tidak bergantung pada keramaian

Narasi Baru dalam Perencanaan Resort


Mari kita ambil contoh perencanaan sebuah resort di jalan singakerta-monkey forest Ubud BALI. Sebelum pandemi, fokus kami adalah bagaimana menempatkan kolam renang infinity terbesar dan restoran dengan kapasitas ratusan. Namun setelah pandemi, narasinya berubah: bagaimana merancang ruang agar tamu merasa aman tanpa merasa terisolasi? Bagaimana menghadirkan privasi tanpa membuat ruang menjadi dingin dan impersonal?

Toolkit ini menjawab dengan pendekatan spasial berikut:

  • Modularitas: Villa disusun dalam cluster kecil, dengan akses terbatas, menciptakan zona privat yang sekaligus fleksibel untuk fungsi lain bila dibutuhkan.
  • Sirkulasi terpisah: Jalur tamu dan staf dirancang tidak bersilangan, meminimalisir kontak langsung.
  • Outdoor sebagai pusat: Ruang terbuka bukan pelengkap, melainkan jantung dari perencanaan—mendorong interaksi dengan alam tanpa kerumunan.

Delapan Pilar Toolkit

Toolkit ini kemudian dikembangkan menjadi delapan pilar desain:

  1. Zonasi Modular
  2. Ruang Terbuka sebagai Prioritas
  3. Sirkulasi Dual untuk Tamu dan Staf
  4. Teknologi Bebas Sentuhan
  5. Wellness-Oriented Design
  6. Zona Adaptif Krisis
  7. Privatisasi Akses
  8. Desain Berbasis Empati Emosional

Pilar-pilar ini bukan dogma, tetapi kompas yang dapat disesuaikan konteks lokal. Di Proyek kami di Ubud Bali misalnya, zona adaptif krisis diterapkan dengan ruang multi-fungsi yang bisa menjadi ruang kerja, ruang medis, atau ruang keluarga privat. Kini Fleksibilitas ruang jadi kunci survival.

Kutipan Refleksi dari Lapangan

Seorang tamu asal Eropa pernah berkata kepada saya saat menginap di salah satu resort yang kami rancang , "Saya tidak datang hanya untuk pemandangan. Saya datang untuk merasa hidup, tapi aman." Ucapan ini membekas. Ia menegaskan bahwa perencanaan pasca pandemi bukan tentang menciptakan kemewahan baru, tapi tentang merancang rasa , yakni ; rasa tenang, rasa terkoneksi, rasa pribadi.

Dulu konsep seclusion itu tambahan nilai, kini ia jadi standar. Setiap unit villa, spa, restoran, bahkan gym, harus bisa berdiri sendiri. Keinginan Tamu hotel ingin kontrol atas ruangnya. Dan muncul Keinginan dan Harapan Tamu dalam era pasca pandemi dalam aspek-aspek ; Luas Ruang Terbuka Hijau, Desain Privat & Secluded, Kebutuhan Healing Experience, mengunakan Contactless Technology

Bagaimana Kita Harus Merespons?

Sebagai perencana, kita tak bisa lagi mengandalkan referensi sebelum 2020 sebagai tolok ukur mutlak. Kita butuh:

  1. Audit Masterplan Lama: Evaluasi zona padat, zona sirkulasi, dan titik keramaian. Bisakah dialihkan atau dipisah?
  2. Simulasi Krisis: Rancang scenario planning jika terjadi pandemi lokal atau bencana lain.
  3. Pemetaan Perilaku Tamu: Gunakan riset psikografi untuk memahami ketakutan, harapan, dan kebiasaan baru tamu.

Toolkit ini juga harus bersifat kolaboratif: arsitek, konsultan operasional, investor, hingga tamu harus menjadi bagian dari proses desain.

Penutup: Renungan untuk Perancang Ruang

Pandemi memang membawa luka, tetapi juga membuka mata. Kita tidak hanya belajar mendesain tempat, tapi juga belajar mendesain rasa tempat.

Sebagai perencana masterplan, kini tugas kita bukan hanya menyusun blok dan garis, tapi menyusun pengalaman emosional dalam ruang yang fleksibel, adaptif, dan manusiawi. Pandemi telah mengubah preferensi menjadi lebih intim, lebih bermakna, lebih sensitif. Lihatlah, tamu tidak sekadar menginap, tapi ingin merasakan pemulihan. Sebagai masterplanner, Anda harus mampu membaca “bahasa ketakutan dan harapan” itu dan menerjemahkannya menjadi ruang.

Pandemi bukan sekadar jeda, melainkan titik balik. Tamu kini mendambakan hotel yang bisa memulihkan jiwa, bukan hanya tubuh. Investor ingin proyek yang berkelanjutan dan relevan secara sosial. Inilah saatnya hotel berevolusi menjadi "ruang kehidupan", bukan sekadar tempat tidur.

Toolkit Post-Pandemic Spatial Planning adalah panggilan untuk mendesain dengan empati, data, dan imajinasi. Bukan lagi sekadar bentuk dan fungsi, tapi makna dan perasaan.

Label: , , , , ,

 
posted by smartlandscape at 20.26 | Permalink |


0 Comments:


Posting Komentar

~ back home