"Pandemi mengubah peta, bukan hanya wilayah, tapi juga cara manusia ingin merasa aman, nyaman, dan bermakna di ruang."
Tepatnya tanggal 2 Maret 2020 menjadi garis
patah dalam sejarah perencanaan ruang. Ketika pandemi COVID-19 melanda dan
masuk kedalam wilayah indonesia mengakibatkan dunia pariwisata tersentak. Kemunculan
varian Delta hingga terbaru Omicron turut mempengaruhi keberadaan Hotel dan
resort di Indonesia, terutama di Bali yang selama ini sebagai pusat Pariwisata,
Hotel resort yang menjadi simbol
pelarian dari rutinitas seketika berubah menjadi ruang yang penuh kekhawatiran,
atau bahkan ditinggalkan, sebuah tragedi nasional bagi dunia ke pariwisataan
tanah air. Namun, sebagaimana krisis membuka ruang refleksi, pandemi justru
menawarkan lensa baru: bagaimana kita seharusnya merancang ruang untuk
manusia, bukan sekadar tamu.
Sebagai Konsultan perencana masterplan resort,
saya menyaksikan langsung bagaimana pandemi menjadi katalis perubahan desain
yang bukan sekadar kosmetik. Ia menyentuh hal yang lebih dalam: psikologi
ruang, persepsi aman, dan perilaku manusia.
Alhasil daya pikir dan kreatif seorang perencana masterplan hotel resort dalam bidang kepraktisian profesi Arsitek Lanskap, sekuat tenaga berusaha melakukan tinjauan problem seeking untuk menemukan inti permasalah perubahan perilaku tamu dan investor akibat pandemi dan melakukan problem solving untuk menemukan Solusi inovatif.
Dan dari sinilah lahir Toolkit Post-Pandemic Spatial Planning, sebuah
pendekatan baru yang tidak hanya relevan, tapi mendesak.
Awal Dari
Sebuah Toolkit
Toolkit ini tidak lahir dari ruang seminar
atau jurnal akademik semata. Ia lahir dari lapangan, melakukan riset ke
hotel-hotel di bali yang tiba-tiba sepi bagaikan bangunan tak berpenghuni, tak
ada lagi hotel mahal, semua banting harga karna sepi tamu,. Di mulai dari
pengamatan terhadap tamu yang kini lebih memilih kamar dengan akses privat,
dari percakapan dengan investor yang khawatir terhadap kemungkinan
lockdown ulang di masa depan, hingga obrolan kasual dengan staf hotel
yang mulai paham bahwa kenyamanan kini bukan hanya fasilitas, tapi rasa tenang.
Dilain sisi secara internal melakukan proses brainstorming ide dan
konsep antar tim kerja perencanaan yang selama ini menjadi garda terdepan dalam
proyek-proyek masterplan hotel resort.
Toolkit ini berisi prinsip, strategi, dan
pendekatan spasial baru yang menjawab tiga kebutuhan mendasar pasca pandemi:
- Keamanan emosional dan fisik
- Fleksibilitas ruang menghadapi disrupsi
- Pengalaman bermakna yang tidak bergantung pada keramaian
Narasi Baru
dalam Perencanaan Resort
Mari kita ambil contoh perencanaan sebuah
resort di jalan singakerta-monkey forest Ubud BALI. Sebelum pandemi, fokus kami
adalah bagaimana menempatkan kolam renang infinity terbesar dan restoran dengan
kapasitas ratusan. Namun setelah pandemi, narasinya berubah: bagaimana
merancang ruang agar tamu merasa aman tanpa merasa terisolasi? Bagaimana
menghadirkan privasi tanpa membuat ruang menjadi dingin dan impersonal?
Toolkit ini menjawab dengan pendekatan spasial
berikut:
- Modularitas: Villa disusun dalam cluster kecil, dengan akses terbatas, menciptakan
zona privat yang sekaligus fleksibel untuk fungsi lain bila dibutuhkan.
- Sirkulasi terpisah: Jalur tamu dan staf dirancang tidak
bersilangan, meminimalisir kontak langsung.
- Outdoor sebagai pusat: Ruang terbuka bukan pelengkap, melainkan jantung dari perencanaan—mendorong interaksi dengan alam tanpa kerumunan.
Delapan
Pilar Toolkit
Toolkit ini kemudian dikembangkan menjadi
delapan pilar desain:
- Zonasi Modular
- Ruang Terbuka sebagai Prioritas
- Sirkulasi Dual untuk Tamu dan Staf
- Teknologi Bebas Sentuhan
- Wellness-Oriented Design
- Zona Adaptif Krisis
- Privatisasi Akses
- Desain Berbasis Empati Emosional
Pilar-pilar ini bukan dogma, tetapi kompas
yang dapat disesuaikan konteks lokal. Di Proyek kami di Ubud Bali misalnya,
zona adaptif krisis diterapkan dengan ruang multi-fungsi yang bisa menjadi
ruang kerja, ruang medis, atau ruang keluarga privat. Kini Fleksibilitas
ruang jadi kunci survival.
Kutipan
Refleksi dari Lapangan
Seorang tamu asal Eropa pernah berkata kepada
saya saat menginap di salah satu resort yang kami rancang , "Saya tidak
datang hanya untuk pemandangan. Saya datang untuk merasa hidup, tapi
aman." Ucapan ini membekas. Ia menegaskan bahwa perencanaan pasca pandemi
bukan tentang menciptakan kemewahan baru, tapi tentang merancang rasa ,
yakni ; rasa tenang, rasa terkoneksi, rasa pribadi.
Dulu konsep seclusion
itu tambahan nilai, kini ia jadi standar. Setiap unit villa, spa,
restoran, bahkan gym, harus bisa berdiri sendiri. Keinginan Tamu
hotel ingin kontrol atas ruangnya. Dan muncul Keinginan dan Harapan
Tamu dalam era pasca pandemi dalam aspek-aspek ; Luas Ruang Terbuka Hijau, Desain
Privat & Secluded, Kebutuhan Healing Experience, mengunakan Contactless
Technology
Bagaimana
Kita Harus Merespons?
Sebagai perencana, kita tak bisa lagi
mengandalkan referensi sebelum 2020 sebagai tolok ukur mutlak. Kita butuh:
- Audit Masterplan Lama: Evaluasi zona padat, zona sirkulasi, dan
titik keramaian. Bisakah dialihkan atau dipisah?
- Simulasi Krisis: Rancang scenario planning jika terjadi
pandemi lokal atau bencana lain.
- Pemetaan Perilaku Tamu: Gunakan riset psikografi untuk memahami
ketakutan, harapan, dan kebiasaan baru tamu.
Toolkit ini juga harus bersifat kolaboratif: arsitek, konsultan operasional, investor, hingga tamu harus menjadi bagian dari proses desain.
Penutup:
Renungan untuk Perancang Ruang
Pandemi memang membawa luka, tetapi juga
membuka mata. Kita tidak hanya belajar mendesain tempat, tapi juga belajar
mendesain rasa tempat.
Sebagai perencana
masterplan, kini tugas kita bukan hanya menyusun blok dan garis, tapi menyusun
pengalaman emosional dalam ruang yang fleksibel, adaptif, dan manusiawi. Pandemi
telah mengubah preferensi menjadi lebih intim, lebih bermakna, lebih
sensitif. Lihatlah, tamu tidak sekadar menginap, tapi ingin merasakan
pemulihan. Sebagai masterplanner, Anda harus mampu membaca “bahasa
ketakutan dan harapan” itu dan menerjemahkannya menjadi ruang.
Pandemi bukan sekadar jeda,
melainkan titik balik. Tamu kini mendambakan hotel yang bisa memulihkan jiwa,
bukan hanya tubuh. Investor ingin proyek yang berkelanjutan dan relevan secara
sosial. Inilah saatnya hotel berevolusi menjadi "ruang kehidupan",
bukan sekadar tempat tidur.
Toolkit Post-Pandemic Spatial Planning adalah
panggilan untuk mendesain dengan empati, data, dan imajinasi. Bukan lagi
sekadar bentuk dan fungsi, tapi makna dan perasaan.
Label: artikel, edukasi, Konsultan Lansekap, opini, pendidikan, Profesi
Posting Komentar