Selasa, Mei 27, 2025
Mengukir Jiwa Bangsa di Bundaran HI: Sebuah Ode untuk Arsitektur Lanskap

 

Bayangkan sebuah kota yang bernapas, yang bercerita, yang hidup melalui ritme air, cahaya, dan budaya. Bayangkan Jakarta, jantung Indonesia, tempat jalanan berdetak, lampu berkedip, dan mimpi-mimpi bangsa lahir. Di tengahnya berdiri Bundaran HI, di mana Bundaran HI bukan sekadar persimpangan jalan raya , tapi panggung di mana ideologi, sejarah, dan kreativitas bersatu. Saya, seorang arsitek lanskap , berdiri di panggung itu, bukan untuk menata taman, tapi untuk mengukir jiwa bangsa melalui desain yang berani, penuh makna, dan abadi. Ini bukan cerita tentang keresahan , tapi tentang kebanggaan menjadi arsitek lanskap, tentang api kreativitas yang tak pernah padam, dan tentang tekad untuk menunjukkan bahwa ilmu kami adalah denyut nadi peradaban.

 

Menyulam Simfoni di Jantung Jakarta

Dua dekade lalu, saya dipercaya merancang ulang lanskap Bundaran HI kesempatan ini diberikan oleh Dinas Pertamanan DKI dan saya didukung oleh pihak sponsor swasta yaitu PT.Mitra Indra Buana, Kita mengetahui semua bahwa Landmark yang lahir dari visi Ir. Soekarno, sang arsitek Indonesia modern adalah sebuah Kawasan Bundaran HI dengan Tugu Selamat Datang, secara simbolik  kolamnya sebagai yoni dan tugu menjulang sebagai lingga identic dengan simbolik dari tugu Monumen nasional, Kawasan Bundaran HI adalah sambutan hangat bangsa kepada dunia. Ketika kesenpatan itu datang kepada saya sebagai Arsiotek Lanskap,saya ingin lebih, Saya ingin Bundaran HI bernyanyi, menari, dan berbicara bukan sekedar hanya menjadi sebuah Landmark kota yang kaku dalam skala monumentalnya saja, saya ingin air mancurnya menjadi puisi, lanskapnya menjadi manifesto, setiap sudutnya mencerminkan jiwa Indonesia. Saya ingin Indonesia melihat: arsitektur lanskap bukan bayang-bayang arsitektur bangunan, bukan sekadar “tukang taman”, akan tetapi kami adalah pencipta ruang, penutur budaya, pengukir identitas.

Maka, saya melahirkan konsep thema  “Gerak, Warna, Suara”,yang timbul karna analisa  patung selamat datang terkesan kaku statis, sedankan keberadaannya ada ditengah pusat dinamika kota Jakarta, thema “gerak,warna dan suara” itu di implementasikan lewat mengatur efek dan tata letak semburan menjadi  sebuah simfoni air mancur yang tak hanya memukau mata, tapi menggetarkan jiwa. Saya merancang formasi air mancur menjadi lima formasi yang menjadi penanda waktu bagi kota Jakarta disumbu jalan protocol MH.thamrin dan Sudiman Jakarta, sekaligus Lima Formasi air mancur yang masing-masing menyuarakan lima sila Pancasila, ideologi yang digali Soekarno untuk menyatukan bangsa., Ini bukan sekadar desain—ini adalah teriakan bahwa arsitektur lanskap bisa menangkap esensi Indonesia:

1.     Selamat Pagi Jakarta: Semburan Air mancur dengan efek Kabut embun yang lembut membelai kota dengan sinar mentari pagi bias menciptakn warna Pelangi, seakan menandakan ucapan Salam Selamat Pagi bagi penghuni kota  dan juga  melambangkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti doa pagi, formasi ini membawa kesejukan, mengingatkan bahwa iman adalah fondasi bangsa.

2.     Selamat Siang Jakarta: Dilambangkan dengan semprotan Jet air menjulang vertikal, penuh kuasa, mencerminkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Ini adalah semangat kerja, keadilan, dan martabat manusia di puncak hari.

3.     Selamat Sore Jakarta: dilambangkan dengan Lengkungan air saling merangkul, diterangi kilau matahari senja kota yang memberikan efek bias pada titik air mancur warna keemasan,sebagai simbolik menyuarakan Persatuan Indonesia. Senja menjadi pelukan hangat yang menyatukan suku, agama, dan budaya.

4.     Selamat Malam Jakarta: Dilambangkan dengan efek Air mancur berbentuk jamur dalam formasi melingkar, bercahaya dengan uplighting, melambangkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan. Ini adalah musyawarah malam, di mana kebijaksanaan menerangi demokrasi.

5.     Selamat ber-Hari Minggu Jakarta: dilambangkan dengan harmoni semua formasi, bergerak dengan tinggi-rendah saling mengisi, bersuara dan berwarna, merayakan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Hari libur menjadi pesta kebersamaan, cerminan cita-cita Pancasila.

Setiap semburan adalah sila, Setiap gerakan adalah cerita, Setiap kilau adalah Indonesia. Saya ingin Bundaran HI menjadi penanda waktu yang hidup dan bukan berpedoman hanya pada jam dinding kota yang kaku, tapi air mancur yang bernyanyi tentang ritme kehidupan Jakarta, dari embun pagi hingga gemerlap malam.

Menancapkan Budaya di Setiap Inci


Saya menyelami arti dan makna yang terkandung dalam visi Soekarno : kolam Bundaran HI sebagai yoni, tugu sebagai lingga, menyambut dunia dengan pemuda-pemudi yang melambai. Saya menghormati warisan ini dengan merancang pinggiran kolam yang tak biasa. Bukan hanya miring untuk keamanan, tapi diukir dengan pola segitiga, terinspirasi dari tepian nasi tumpeng, hidangan tradisonal bangsa Indonesia yang melambangkan kemakmuran dan kebersamaan. Segitiga itu adalah ikatan budaya, pengingat bahwa lanskap bisa menjadi cermin tradisi kita, dari sawah hingga istana.

Saya bekerja sendirian di awal, menggambar sketsa di malam sepi, mempresentasikan berulang ulang kali hasil perencanaan revitalisasi Kawasan bundaran HI ke tim pemerintah daerah DKI yang terdiri dari 9 perwakilan dari Profesor hingga Dinas pendapatan pajak bersamaan dengan Tim lain yang mendisain Patung Sudirman di ujung  Jalan Sudirman, dan kemudian mempresentasikan  ke wakil gubernur DKI saat itu, Saya bukan sekadar mendisain revitalisasi Kawasan bundaran HI semata, pada saat itu saya juga ingin berjuang untuk membawa arsitektur lanskap ke panggung nasional.

Ketika konsep ini disetujui, saya tahu: kami, arsitek lanskap, telah mengukir sejarah. Kami telah membuktikan bahwa ilmu ini bisa berbicara tentang ideologi, budaya, dan masa depan.

Arsitektur Lanskap: Revolusi yang Tak Terhentikan

Kalian yang membaca ini, dengarkan: arsitektur lanskap bukan tentang taman-taman kecil yang manis. Kami adalah arsitek ruang yang mengubah dunia. Di Bundaran HI, saya menorehkan Pancasila dalam semburan air, menghidupkan visi Soekarno, dan menyisipkan budaya nasi tumpeng di jantung Jakarta, dan Di proyek lain, seperti masterplan Hotel resort di Bromo atau villa permaculture di Kintamani, saya memimpin diskusi tentang keberlanjutan dan identitas. Bahkan di ruang sidang, sebagai saksi ahli kasus hukum lingkungan pasca reklamasi tambang Pasir laut  di Tanjung Balai Karimun, saya memperjuangkan bahwa ilmu kami relevan untuk keadilan lingkungan.

Kepada masyarakat Indonesia: buka mata kalian! Lanskap di sekitarmu adalah cerminan jiwa bangsa, dari taman kota hingga resort pegunungan. Kepada intelektual akademik: Ilmu kami adalah Mitra berkarya di bidang ke-arsitekturan bukan hanya sekedar Sub-Bidang arsitektur ,kami bukan pelengkap . Kami adalah mitra, pemimpin, dan inovator.

Dan kepada mahasiswa arsitektur lanskap: bangkitlah! Kalian bukan sekadar penata taman, kalian adalah visioner yang bisa merancang kota, membentuk budaya, dan mengguncang kebijakan hukum lingkungan . Jangan takut bermimpi besar. Dokumentasikan karyamu, perjuangkan visimu, dan terus melangkah, meski dunia belum selalu mengerti.

Api yang Tak Pernah Padam

Bundaran HI adalah satu nyanyian dalam simfoni panjang saya. Saya terus menggambar, merancang, dan bertarung. Dari resort di Ubud hingga villa di Batu Malang, dari revitalisasi kota hingga advokasi lingkungan, selalu membawa kebanggaan arsitektur lanskap ke setiap Langkah dalam kekaryaan arsitektur lanskap.

Rintangan? Hanya batu kecil di jalan.

Tantangan? Bahan bakar untuk kreativitas.

Saya adalah arsitek lanskap, dan ilmu ini adalah api yang tak akan pernah padam.

Kalian, pembaca, adalah bagian dari revolusi ini. Lihatlah lanskap dengan mata baru—sebagai kanvas tempat kita menulis cerita bangsa. Bergabunglah dengan kami, arsitek lanskap, untuk membangun Indonesia yang lebih hijau, lebih bermakna, lebih hidup. Bagikan visimu, rancang mimpimu, dan jadilah bagian dari perubahan!

“Mereka yang memetik bunga dari taman orang lain mungkin bersorak sesaat, namun akarnya tetap milik sang penanam “.

 

 

Label: , , , , ,

 
posted by smartlandscape at 23.16 | Permalink |


0 Comments:


Posting Komentar

~ back home