Jumat, Juli 18, 2025
ECO-FRIENDLY ADALAH ILUSI

 


Kenapa Desain Otoriter Lebih Jujur daripada Kompromi Hijau yang Palsu

Di dunia desain tapak saat ini, kata “eco-friendly” seperti mantra. Ia muncul di setiap proposal, brosur, hingga diskusi publik.
Semua berlomba menyebut dirinya "ramah lingkungan", "berkelanjutan", atau "hijau".

Tapi di balik istilah yang terdengar luhur itu, ada sesuatu yang mengganggu:
Kenapa justru banyak proyek ‘eco’ yang gagal menyentuh makna ekologis yang sejati?
Kenapa setelah semua jargon hijau, justru tapaknya terasa netral, tidak berpihak, bahkan mudah dilupakan?

Mungkin karena kita sedang hidup di era ketika kebaikan itu dipalsukan untuk menghindari keputusan sulit.
Dan di tengah situasi itu, kami menyatakan:

“ Eco-friendly sudah mati. Dan yang dibutuhkan sekarang adalah desain yang otoriter.”

1.Ramah Lingkungan yang Tak Bertaring

Mari kita mulai dengan pertanyaan sederhana:

Apa arti “eco-friendly” dalam praktik?

Biasanya itu berarti:

  • Menambahkan ruang hijau
  • Menggunakan material lokal
  • Meningkatkan sirkulasi udara
  • Memasukkan elemen air
  • Menanam pohon

Semua itu baik. Tapi juga bisa kosong.

Karena yang sering terjadi adalah ini:

“Kami merusak kontur, tapi menanam 300 pohon.”
“Kami menggusur rawa, tapi mengganti dengan danau buatan.”
“Kami menutup jalur hewan, tapi membuat taman edukasi.”

Semua bisa dicat hijau, semua bisa diberi label “eco”.
Padahal kenyataannya:
Ekosistem tidak butuh simbol. Ia butuh kejujuran spasial.

2.Kritik atas Romantisme Hijau

Desain eco-friendly versi brosur terlalu sering jatuh dalam sikap romantik:

Semua ruang bisa indah.
Semua makhluk bisa hidup berdampingan.
Manusia bisa menyatu dengan alam, asal dengan cara lembut.

Tapi realitas tapak berkata sebaliknya:

  • Air akan mencari jalurnya sendiri.
  • Hutan akan membalas jika dibongkar.
  • Akar pohon tidak bisa diminta kompromi dengan pipa saluran.

Ekosistem tidak demokratis. Dan desain tidak seharusnya pura-pura netral.

Yang lebih jujur adalah ini:

“Manusia dan alam tidak setara.”
“Kapital dan ekologi saling meniadakan.”
“Kalau kita ingin menyelamatkan sesuatu, kita harus menghancurkan yang lain.”

Itu bukan tirani. Itu adalah pilihan desain yang sadar akan konsekuensinya.

3.Saatnya Arsitek Lanskap Menjadi Pengendali Medan

Selama terlalu lama, peran arsitek lanskap ditekan menjadi fasilitator estetika.
Diminta “mengharmoniskan” berbagai kepentingan, menyamakan perbedaan, dan membuat semua pihak senang.
Tapi hasilnya adalah tapak yang lembek. Tidak berpihak. Tidak punya identitas.

Kami tidak mau jadi peredam.
Kami tidak mau menjadi pelayan keinginan klien.

Kami ingin menjadi pengendali medan.

Desain itu bukan demokrasi. Desain itu adalah pemetaan kuasa spasial.
Dan arsitek lanskap yang sejati bukan orang yang menyenangkan semua pihak.
Ia adalah seseorang yang menentukan arah. Dengan tegas.

Bayangkan seorang panglima, berdiri di depan peta perang.
Ia tidak bertanya pada semua pasukannya apa yang mereka mau.
Ia menunjuk, memilih, mengorbankan, dan mengeksekusi.

Begitu pula dengan masterplan resort tropis.
Tidak semua zona harus diisi. Tidak semua akses harus dibuka. Tidak semua potensi harus dikapitalisasi.
Harus ada yang ditinggikan. Harus ada yang dibunuh. Harus ada garis yang tidak bisa dikompromikan.

4.Etika Jangan Dijadikan Alasan untuk Lemah

Seringkali, ketika arsitek enggan mengambil keputusan tegas, mereka bersembunyi di balik istilah:

“Saya hanya ingin desain yang etis.”
“Saya ingin semua unsur setara.”
“Saya ingin menjaga keseimbangan.”

Tapi sebenarnya:

“Saya tidak mau disalahkan.”
“Saya tidak berani menentukan siapa yang lebih penting.”
“Saya tidak siap memilih pihak.”

Itu bukan etika. Itu pengecutan.
Padahal desain membutuhkan kemauan brutal untuk menentukan arah.
Bukan karena kita mau seenaknya, tapi karena kita siap bertanggung jawab.

Etika bukan berarti semua sama rata.
Etika berarti: berpihak dengan sadar, dan menanggung konsekuensinya.

5.Desain Lembek Tidak Bertahan Lama

Lihatlah proyek-proyek “eco” yang gagal:

  • Jalur pedestrian yang ditinggalkan karena tidak sesuai kontur.
  • Taman komunitas yang jadi mati karena tanpa orientasi.
  • Zona “natural” yang tergenang dan busuk karena tidak dirancang aliran airnya.

Semua tampak “baik” di awal.
Tapi rapuh. Tidak punya disiplin bentuk. Tidak punya arah spasial.
Mereka tidak gagal karena tidak ‘hijau’,
mereka gagal karena tidak memiliki otoritas dalam menentukan relasi spasial.

Desain bukan soal niat baik.
Desain adalah soal penguasaan realitas ruang.

6.Manifesto Desain Otoriter

Kami percaya:

Desain otoriter bukan tentang kekerasan. Tapi tentang kejelasan niat.
Bukan tentang kesewenang-wenangan, tapi tentang tanggung jawab penuh atas hasil desain.

Ketika kami merancang tapak, kami akan:

  • Pilih siapa yang diselamatkan
  • Tentukan apa yang dikorbankan
  • Jaga apa yang tidak boleh disentuh
  • Bentuk lanskap dengan keputusan final — bukan voting

Kami tak mau desain yang netral, karena netralitas dalam desain lanskap adalah bentuk pelepasan tanggung jawab.

7.Eco-Dominance, Bukan Eco-Friendly

Kami tidak ingin “eco-friendly”.
Karena menjadi “ramah” bukan tujuan kami.
Kami ingin “eco-dominance” — menata lanskap agar sistem ekologis yang kuat bisa kembali berkuasa.

Itu bisa berarti:

  • Membiarkan zona liar tetap tidak terjamah
  • Mengatur jalur manusia agar tidak merusak tanah
  • Menolak usulan klien yang ingin membangun terlalu dekat garis air

Desain seperti ini tidak selalu nyaman.
Tapi desain ini jujur. Penuh arah. Dan tahan puluhan tahun.

8. Penutup:

Arsitek Lanskap Bukan Perias, Tapi Penguasa Konstelasi

Kalau desain terus didorong untuk menjadi “ramah”, “manis”, dan “aman”,
maka arsitek lanskap akan kehilangan peran strategisnya:

Sebagai pengatur medan. Sebagai penentu hierarki. Sebagai penjaga arah.

Eco-friendly sudah tidak cukup.
Waktunya desain memanggil kembali otoritasnya.
Waktunya arsitek lanskap berdiri tegak — bukan sebagai pelayan ekspektasi, tapi sebagai pembentuk masa depan ruang.

“Desain yang tidak berpihak hanyalah estetika yang lari dari tanggung jawab.”


“Kami menata tapak seperti medan perang:
Pilih siapa yang bertahan, siapa yang disingkirkan.
Inilah desain tanpa kompromi.

 

 

Label: , , , , ,

 
posted by smartlandscape at 01.33 | Permalink |


0 Comments:


Posting Komentar

~ back home