Kenapa Desain Otoriter Lebih Jujur daripada Kompromi Hijau yang Palsu
Di dunia desain tapak saat
ini, kata “eco-friendly” seperti mantra. Ia muncul di setiap proposal, brosur,
hingga diskusi publik.
Semua berlomba menyebut dirinya "ramah lingkungan",
"berkelanjutan", atau "hijau".
Tapi di balik istilah yang
terdengar luhur itu, ada sesuatu yang mengganggu:
Kenapa justru banyak proyek ‘eco’ yang gagal menyentuh makna ekologis yang
sejati?
Kenapa setelah semua jargon hijau, justru tapaknya terasa netral, tidak
berpihak, bahkan mudah dilupakan?
Mungkin karena kita sedang
hidup di era ketika kebaikan itu dipalsukan untuk menghindari keputusan
sulit.
Dan di tengah situasi itu, kami menyatakan:
“ Eco-friendly sudah mati. Dan yang dibutuhkan sekarang adalah desain yang otoriter.”
1.Ramah
Lingkungan yang Tak Bertaring
Mari kita mulai dengan
pertanyaan sederhana:
Apa arti “eco-friendly”
dalam praktik?
Biasanya itu berarti:
- Menambahkan ruang hijau
- Menggunakan material lokal
- Meningkatkan sirkulasi udara
- Memasukkan elemen air
- Menanam pohon
Semua itu baik. Tapi juga
bisa kosong.
Karena yang sering terjadi
adalah ini:
“Kami merusak kontur, tapi
menanam 300 pohon.”
“Kami menggusur rawa, tapi mengganti dengan danau buatan.”
“Kami menutup jalur hewan, tapi membuat taman edukasi.”
Semua bisa dicat hijau,
semua bisa diberi label “eco”.
Padahal kenyataannya:
Ekosistem tidak butuh simbol. Ia butuh kejujuran spasial.
2.Kritik
atas Romantisme Hijau
Desain eco-friendly versi
brosur terlalu sering jatuh dalam sikap romantik:
Semua ruang bisa indah.
Semua makhluk bisa hidup berdampingan.
Manusia bisa menyatu dengan alam, asal dengan cara lembut.
Tapi realitas tapak berkata
sebaliknya:
- Air akan mencari jalurnya sendiri.
- Hutan akan membalas jika dibongkar.
- Akar pohon tidak bisa diminta kompromi
dengan pipa saluran.
Ekosistem tidak demokratis.
Dan desain tidak seharusnya pura-pura netral.
Yang lebih jujur adalah ini:
“Manusia dan alam tidak
setara.”
“Kapital dan ekologi saling meniadakan.”
“Kalau kita ingin menyelamatkan sesuatu, kita harus menghancurkan yang lain.”
Itu bukan tirani. Itu adalah
pilihan desain yang sadar akan konsekuensinya.
3.Saatnya
Arsitek Lanskap Menjadi Pengendali Medan
Selama terlalu lama, peran
arsitek lanskap ditekan menjadi fasilitator estetika.
Diminta “mengharmoniskan” berbagai kepentingan, menyamakan perbedaan, dan
membuat semua pihak senang.
Tapi hasilnya adalah tapak yang lembek. Tidak berpihak. Tidak punya identitas.
Kami tidak mau jadi peredam.
Kami tidak mau menjadi pelayan keinginan klien.
Kami ingin menjadi pengendali
medan.
Desain itu bukan demokrasi.
Desain itu adalah pemetaan kuasa spasial.
Dan arsitek lanskap yang sejati bukan orang yang menyenangkan semua pihak.
Ia adalah seseorang yang menentukan arah. Dengan tegas.
Bayangkan seorang panglima,
berdiri di depan peta perang.
Ia tidak bertanya pada semua pasukannya apa yang mereka mau.
Ia menunjuk, memilih, mengorbankan, dan mengeksekusi.
Begitu pula dengan
masterplan resort tropis.
Tidak semua zona harus diisi. Tidak semua akses harus dibuka. Tidak semua
potensi harus dikapitalisasi.
Harus ada yang ditinggikan. Harus ada yang dibunuh. Harus ada garis yang tidak
bisa dikompromikan.
4.Etika
Jangan Dijadikan Alasan untuk Lemah
Seringkali, ketika arsitek
enggan mengambil keputusan tegas, mereka bersembunyi di balik istilah:
“Saya hanya ingin desain
yang etis.”
“Saya ingin semua unsur setara.”
“Saya ingin menjaga keseimbangan.”
Tapi sebenarnya:
“Saya tidak mau disalahkan.”
“Saya tidak berani menentukan siapa yang lebih penting.”
“Saya tidak siap memilih pihak.”
Itu bukan etika. Itu pengecutan.
Padahal desain membutuhkan kemauan brutal untuk menentukan arah.
Bukan karena kita mau seenaknya, tapi karena kita siap bertanggung jawab.
Etika bukan berarti semua
sama rata.
Etika berarti: berpihak dengan sadar, dan menanggung konsekuensinya.
5.Desain
Lembek Tidak Bertahan Lama
Lihatlah proyek-proyek “eco”
yang gagal:
- Jalur pedestrian yang ditinggalkan karena
tidak sesuai kontur.
- Taman komunitas yang jadi mati karena
tanpa orientasi.
- Zona “natural” yang tergenang dan busuk
karena tidak dirancang aliran airnya.
Semua tampak “baik” di awal.
Tapi rapuh. Tidak punya disiplin bentuk. Tidak punya arah spasial.
Mereka tidak gagal karena tidak ‘hijau’,
mereka gagal karena tidak memiliki otoritas dalam menentukan relasi spasial.
Desain bukan soal niat baik.
Desain adalah soal penguasaan realitas ruang.
6.Manifesto
Desain Otoriter
Kami percaya:
Desain otoriter bukan
tentang kekerasan. Tapi tentang kejelasan niat.
Bukan tentang kesewenang-wenangan, tapi tentang tanggung jawab penuh atas
hasil desain.
Ketika kami merancang tapak,
kami akan:
- Pilih siapa yang diselamatkan
- Tentukan apa yang dikorbankan
- Jaga apa yang tidak boleh disentuh
- Bentuk lanskap dengan keputusan final —
bukan voting
Kami tak mau desain yang
netral, karena netralitas dalam desain lanskap adalah bentuk pelepasan
tanggung jawab.
7.Eco-Dominance,
Bukan Eco-Friendly
Kami tidak ingin “eco-friendly”.
Karena menjadi “ramah” bukan tujuan kami.
Kami ingin “eco-dominance” — menata lanskap agar sistem ekologis yang kuat
bisa kembali berkuasa.
Itu bisa berarti:
- Membiarkan zona liar tetap tidak terjamah
- Mengatur jalur manusia agar tidak merusak
tanah
- Menolak usulan klien yang ingin membangun
terlalu dekat garis air
Desain seperti ini tidak
selalu nyaman.
Tapi desain ini jujur. Penuh arah. Dan tahan puluhan tahun.
8. Penutup:
Arsitek
Lanskap Bukan Perias, Tapi Penguasa Konstelasi
Kalau desain terus didorong
untuk menjadi “ramah”, “manis”, dan “aman”,
maka arsitek lanskap akan kehilangan peran strategisnya:
Sebagai pengatur medan. Sebagai penentu hierarki. Sebagai penjaga arah.
Eco-friendly sudah tidak
cukup.
Waktunya desain memanggil kembali otoritasnya.
Waktunya arsitek lanskap berdiri tegak — bukan sebagai pelayan ekspektasi, tapi
sebagai pembentuk masa depan ruang.
“Desain yang tidak berpihak hanyalah estetika yang lari dari tanggung jawab.”
“Kami menata tapak seperti medan perang:
Pilih siapa yang bertahan, siapa yang disingkirkan.
Inilah desain tanpa kompromi.”
Label: artikel, edukasi, Konsultan Lansekap, opini, pendidikan, Profesi
Posting Komentar